Kamis, 30 Juni 2016

LETTERS TO ROMEO IV



Hei..tiba-tiba aku teringat perbicangan kita kemarin, aku terlambat menyadari apa yang kau katakan semuanya benar. Hari itu emosiku sangat tidak stabil, aku membuat keadaan bertambah buruk dengan melampiaskan kemarahan pada setiap orang yang aku temui. Bukankah aku terlihat mengerikan?
“Aku ingin bertanya, kenapa saat kita pacaran dulu kau selalu mendengarkan perkataanku dan tidak banyak membantah?” Kau bertanya setelah aku melampiaskan emosi yang ada. “Karena setiap yang kau katakan padaku semuanya benar , kalaupun kau marah karena memang aku salah dan semua demi kebaikan kita berdua”Jawabku. Sambil tetap fokus menyetir kau berkata “Bukan itu jawabannya.”
“Kau menganggap aku ada,itu lebih tepatnya”Lanjutmu kemudian. Melihat kebingunganku kau coba menjelaskan “Kau terbiasa menjadi peran utama dalam setiap pentas Teater ,itu terbawa dalam kehidupan nyata. Kau selalu memposisikan diri sebagai pusat perhatian yang selalu di dengar tanpa meluangkan waktumu untuk mendengar. Kau menganggap aku lawan mainmu itu alasan kenapa kau selalu mendengarku.”
Kau menarik nafas sebentar lalu berkata lagi “Cil,disekelilingmu ada banyak orang yang kau anggap hanya figuran. Aku hanya ingin memberi tahu satu hal, Teater adalah duniamu kan? Kau tentu tahu kalau pemeran figuran pun mempunyai dialog untuk di ucapkan dan di dengar olehmu maupun penonton yang ada”
“Apa maksudmu?”Tanyaku
“Kau sangat mengerti  maksudku. Kita bersama bukan hitungan bulan. Jika kau bisa meluangkan waktumu untuk mendengar pendapatku, belajar melihat dari sudut pandang berbeda serta menyatukan pikiran kita yang tak selalu sama selama kita pacaran. Kenapa hal itu tidak kau lakukan pada orang lain?”
Aku menarik napas dalam lalu kembali ku dengar kau berbicara “Aku ingin kau kembali seperti dulu. Menjadi Acil yang peduli pada perasaan orang lain. Coba kau bayangkan kau ada di posisi mereka. Saat mereka di kejar waktu, kau tak beri kepastian. Wajar kalau intonasi suara menjadi tinggi. Lantas kau tersinggung? Itu karena harga dirimu terlalu tinggi. Mana Acil yang dulu?”
Aku hanya bisa terdiam. Banyak yang berubah darimu, kau semakin dewasa setelah perpisahan kita dan aku sebaliknya. Aku menjadi sosok yang sangat egois dan meledak-ledak. Kau benar, aku terlalu sombong untuk mengakui kesalahanku.
“Kalau aku bicara apa kau akan mendengarkanku?”Tanyamu sambil sekilas melirik ke arahku.
“Bukankah sejak tadi aku sudah melakukannya?”Aku balik bertanya,kau pun terkekeh.
“Belajarlah untuk menurunkan sedikit saja egomu lalu minta maaflah bukan hanya karena kau salah tapi karena dengan minta maaf keadaan bisa berubah. Oke aku tahu mungkin sulit bagimu. Kau hanya melakukan itu lima kali sepanjang tiga tahun hubungan kita. Aku ingin kau mencoba,bersedia?” Ucapanmu terdengar seperti seorang juri ajang pencarian bakat yang meminta peserta mencoba sesuatu yang berbeda. Aku mengangguk.
Aku butuh waktu membunuh egoku lalu mengumpulkan keberanian untuk menghubungi mereka yang terluka karena sikapku. Aku lega,itulah yang ingin kukatakan padamu lewat tulisan ini.
Aku menuangkan pembicaraan kita lewat tulisan ini karena aku ingin suatu hari dapat kembali membacanya untuk sekedar mengetahui aku pernah se-egois kemarin. Bukan Cuma itu , aku ingin suatu hari tersenyum mengingat ada seorang Pria yang dulu sangat egois justru membantuku meruntuhkan tembok keegoisan ini.
Terima Kasih..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar