Hei..tiba-tiba aku teringat
perbicangan kita kemarin, aku terlambat menyadari apa yang kau katakan semuanya
benar. Hari itu emosiku sangat tidak stabil, aku membuat keadaan bertambah
buruk dengan melampiaskan kemarahan pada setiap orang yang aku temui. Bukankah
aku terlihat mengerikan?
“Aku
ingin bertanya, kenapa saat kita pacaran dulu kau selalu mendengarkan
perkataanku dan tidak banyak membantah?” Kau bertanya setelah aku melampiaskan
emosi yang ada. “Karena setiap yang kau katakan padaku semuanya benar ,
kalaupun kau marah karena memang aku salah dan semua demi kebaikan kita
berdua”Jawabku. Sambil tetap fokus menyetir kau berkata “Bukan itu jawabannya.”
“Kau
menganggap aku ada,itu lebih tepatnya”Lanjutmu kemudian. Melihat kebingunganku
kau coba menjelaskan “Kau terbiasa menjadi peran utama dalam setiap pentas
Teater ,itu terbawa dalam kehidupan nyata. Kau selalu memposisikan diri sebagai
pusat perhatian yang selalu di dengar tanpa meluangkan waktumu untuk mendengar.
Kau menganggap aku lawan mainmu itu alasan kenapa kau selalu mendengarku.”
Kau
menarik nafas sebentar lalu berkata lagi “Cil,disekelilingmu ada banyak orang
yang kau anggap hanya figuran. Aku hanya ingin memberi tahu satu hal, Teater
adalah duniamu kan? Kau tentu tahu kalau pemeran figuran pun mempunyai dialog
untuk di ucapkan dan di dengar olehmu maupun penonton yang ada”
“Apa
maksudmu?”Tanyaku
“Kau
sangat mengerti maksudku. Kita bersama
bukan hitungan bulan. Jika kau bisa meluangkan waktumu untuk mendengar
pendapatku, belajar melihat dari sudut pandang berbeda serta menyatukan pikiran
kita yang tak selalu sama selama kita pacaran. Kenapa hal itu tidak kau lakukan
pada orang lain?”
Aku
menarik napas dalam lalu kembali ku dengar kau berbicara “Aku ingin kau kembali
seperti dulu. Menjadi Acil yang peduli pada perasaan orang lain. Coba kau
bayangkan kau ada di posisi mereka. Saat mereka di kejar waktu, kau tak beri
kepastian. Wajar kalau intonasi suara menjadi tinggi. Lantas kau tersinggung?
Itu karena harga dirimu terlalu tinggi. Mana Acil yang dulu?”
Aku
hanya bisa terdiam. Banyak yang berubah darimu, kau semakin dewasa setelah
perpisahan kita dan aku sebaliknya. Aku menjadi sosok yang sangat egois dan
meledak-ledak. Kau benar, aku terlalu sombong untuk mengakui kesalahanku.
“Kalau
aku bicara apa kau akan mendengarkanku?”Tanyamu sambil sekilas melirik ke
arahku.
“Bukankah
sejak tadi aku sudah melakukannya?”Aku balik bertanya,kau pun terkekeh.
“Belajarlah
untuk menurunkan sedikit saja egomu lalu minta maaflah bukan hanya karena kau
salah tapi karena dengan minta maaf keadaan bisa berubah. Oke aku tahu mungkin
sulit bagimu. Kau hanya melakukan itu lima kali sepanjang tiga tahun hubungan
kita. Aku ingin kau mencoba,bersedia?” Ucapanmu terdengar seperti seorang juri
ajang pencarian bakat yang meminta peserta mencoba sesuatu yang berbeda. Aku
mengangguk.
Aku
butuh waktu membunuh egoku lalu mengumpulkan keberanian untuk menghubungi
mereka yang terluka karena sikapku. Aku lega,itulah yang ingin kukatakan padamu
lewat tulisan ini.
Aku
menuangkan pembicaraan kita lewat tulisan ini karena aku ingin suatu hari dapat
kembali membacanya untuk sekedar mengetahui aku pernah se-egois kemarin. Bukan
Cuma itu , aku ingin suatu hari tersenyum mengingat ada seorang Pria yang dulu
sangat egois justru membantuku meruntuhkan tembok keegoisan ini.
Terima Kasih..